Sengketa Debitur vs Kreditur di BPR, Akademisi: Murni Keperdataan, Selesaikan antara Debitur dan Kreditur

Denpasar (Penabali.com) – Munculnya pemberitaan di media mengenai pelaporan tindak pidana dari salah satu BPR terhadap debitur, cukup menuai perhatian, tidak hanya dari masyarakat, namun juga dari kalangan ahli. Salah satunya Prof. Johannes Ibrahim.

Guru Besar di salah satu universitas swasta di Bali ini turut menyayangkan berita simpang siur yang muncul di permukaan. Menurut Prof. Johannes Ibrahim, pada dasarnya bank merupakan lembaga intermediasi yang memiliki nilai kepercayaan dari masyarakat. Bank tidak hanya mengemban amanat dari pemerintah tetapi juga dari masyarakat luas. Ini mendasari fungsi bank sebagai lembaga intermediasi yang menghimpun dana dari masyarakat dan kemudian disalurkan kembali ke masyarakat yang membutuhkan.

“Dalam konteks bank sebagai lembaga intermediasi, di sini terjadi adanya suatu hubungan hukum dalam bentuk kontraktual atau suatu bentuk hubungan hukum yang didasarkan pada suatu perjanjian. Karena berdasarkan suatu perjanjian, maka kita lihat ketentuan mana yang mengatur hal itu, yaitu pasal 1320 dari KUH Perdata,” jelas Prof. Johannes Ibrahim, Minggu (7/5/2023).

Prof. Ibrahim menambahkan, dikarenakan hubungan hukum ini didasari dengan suatu perjanjian, maka ketika suatu pengajuan kredit ini telah disetujui oleh pihak bank, maka bank akan memberikan surat penawaran kredit, yang berisi ketentuan-ketentuan yang akan menjadi hak dan kewajiban bagi nasabah dan juga pihak bank.

“Surat perjanjian ini harus dipelajari oleh debitur. Kalau debitur setuju, akan ditandatangani dulu atau disebut dengan pra perjanjian. Jika sudah disetujui oleh debitur, maka apa yang tertera pada surat penawaran tersebut akan dituangkan pada perjanjian. Isi perjanjian ini sudah diketahui oleh debitur sebelum yang bersangkutan menandatangani perjanjian utamanya. Semuanya tertuang di sana. Inilah yang dinamakan kesepakatan,” ujarnya.

Ketika bank memberikan fasilitas kredit, tentu akan dilakukan analisa 5C (Character, Capital, Capacity, Condition of Economy, Collateral). Selain itu, bank juga wajib menerapkan prinsip kehati-hatian. Maka dalam perjanjian kredit pasti disertai dengan perjanjian jaminan yang berfungsi untuk meng-cover risiko kredit, dengan diikatnya jaminan yang dimiliki bank melalui lembaga hak tanggungan, maka prinsip kehati-hatian juga telah terpenuhi.

Datangnya risiko kredit, salah satunya adalah dari faktor eksternal. Faktor eksternal dalam analisis 5C ini adalah Condition of Economy. Kondisi ekonomi jangka panjang yang tidak dapat diprediksi ini, memiliki kemungkinan untuk mempengaruhi bisnis dan kemampuan bayar dari debitur. Ketika kemampuan bayar debitur terpengaruh, debitur memiliki risiko macet. Perjanjian jaminan itulah yang berfungsi untuk mengantisipasi risiko kredit. Perjanjian jaminan ini juga yang mengikat antar debitur dengan bank.

“Berdasarkan perjanjian jaminan, kita selalu tunduk pada ketentuan pasal 1340 KUH Perdata yang kita kenal dengan asas kepribadian. Perjanjian ini hanya berlaku bagi para pihak saja. Seseorang di luar perjanjian itu tidak berhak untuk mendapatkan keuntungan maupun kalau terjadi kerugian,” terang Guru Besar yang juga seorang penulis buku ini.

Dalam kondisi debitur macet, bank akan memiliki kebijakan untuk mengambil langkah-langkah yang sudah disepakati pada perjanjian. Terdapat prosedur-prosedur yang harus dilalui oleh bank terlebih dahulu untuk penyelesaian masalah kredit macet yang menimpa debiturnya. Menurutnya, lelang merupakan jalan terakhir yang ditempuh bank untuk menyelesaikan masalah kredit macet ini.

“Pihak bank ini juga biasanya tidak mau mengambil jaminan debitur kalau tidak dalam keadaan terpaksa. Pada prosesnya, debitur harus menunjukkan itikad baik terhadap bank untuk menyelesaikan masalahnya. Faktor pertama, itikad baik dari debitur itu sangat penting. Debitur dengan karakter yang baik, walaupun mengalami risiko yang jelek, pasti akan berusaha untuk menyelesaikan masalahnya. Tapi kalau karakternya buruk, ini bisa saja melakukan upaya-upaya yang ada di luar perjanjian, yang tidak sesuai dengan cara-cara keperdataan,” tambah penulis buku Akses Perkreditan dan Ragam Fasilitas Kredit ini.

Menanggapi pemberitaan yang beredar di media tentang isu mengenai sengketa antara debitur dan kreditur di lingkungan BPR di Bali, Prof. Johannes Ibrahim yang berkesempatan ditemui awak media, memberikan pandangan dari kacamata akademisi.

“Tanpa bermaksud mengomentari proses penanganan yang sedang berjalan. Bahwa seperti yang telah saya sampaikan, jika memang sengketa itu bersumber dari perjanjian kredit yang melibatkan antara kepentingan hukum debitur dan kreditur di lingkungan BPR, maka kasus tersebut murni urusan keperdataan. Mekanisme penyelesaiannya pun selayaknya hanya melibatkan pihak debitur dan kreditur, dalam hal ini bank, sebagaimana ditentukan lebih lanjut di dalam perjanjian kredit. Dengan demikian, proses penyelesaian kasus idealnya tidak melibatkan pihak-pihak lain yang tidak memiliki kepentingan hukum dengan perjanjian kredit,” pungkasnya. (rls)


Sumber:
https://penabali.com/sengketa-debitur-vs-kreditur-di-bpr-akademisi-murni-keperdataan-selesaikan-antara-debitur-dan-kreditur/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Subscribe sekarang!

Konsultasi Sekarang!
Terima kasih telah mengunjungi Website Kantor Hukum Sari Law Office

Silahkan lanjutkan melalui chat
Klik Konsultasi Sekarang (GRATIS)! 👇